Sudah Sanggup Nikah? Atau Cuma Ngebet?


Nikah adalah sunnah. Bersunnah berarti mencintai Rasulullaah saw.

Belakangan ini saya terkejut bukan main, ternyata sebagian besar da’i -mungkin saya juga termasuk- kurang memerhatikan implikasi dari dakwah yang dibawakan. Salah satunya di bab:  Relationship. ‘Jangan mendekati zina!’ yang tersampaikan begitu frontalnya dengan sebuah kekata ‘Mending nikah!’ ternyata besar sekali dampaknya bagi remaja-remaja hari ini.

Memang berbuah ranum. Banyak yang tersadar bahwa pacaran = mendekati zina = dilarang Allah, namun efek lain yang ditimbulkan adalah munculnya remaja spesies baru: Remaja Ngebet Nikah. Ngebet dan bersegera itu beda. Beda sekali.

Percayalah! Menikah tidak sebercanda “Aku tidak punya apa-apa, melainkan cinta yang begitu bergemuruh menanti untuk dihalalkan.” Benar memang benar. Niat boleh saja niat. Tapi ada hal-hal yang harus diperhatikan, harus selalu dipersiapkan, harus selalu diketahui. Harus dan harus. Selalu dan selalu; jika urusannya dengan penyempurnaan separuh agama.

Dalam buku Barakallaahu Laka: Bahagianya Merayakan Cinta karya Da’i yang enggan tenar di TV, Guru yang murdinya di tiap penjuru, dan Da’i yang kukagumi; Ust. Salim A. Fillah -sering sekali saya kutip tulisan-tulisan beliau di blog ini- termaktub sebuah bahasan mengenai Membedakan Persiapan (Pernikahan) dengan Parameter Kesiapan (Menikah). Di blog ini, perkenankan saya merubah sedikit bahasanya, Persiapan Pernikahan = Kesiapan menikah; Parameter Kesiapan Menikah = Kesanggupan menikah.

Seringkali kita salah menafsirkan keduanya atau malah terbalik-balik. Di buku itu Ust. Salim menceritakan bahwa dirinya pernah diberi kesempatan mendampingi Ustzh. Herlini Amran, MA. mengisi seminar kemuslimahan. Paparan-paparan yang tersaji adalah tentang persiapan pernikahan. Antara lain:

  • Persiapan Ruhiyah (spiritual)
  • Persiapan ‘Ilmu-fikriyah (ilmu-intelektual)
  • Persiapan Jasadiyah (fisik)
  • Persiapan Maadiyah (material)
  • Persiapan Ijtima’iyyah (sosial)

Penjelasan lebih mendetail silakan dibaca saja, ya, di bukunya. :)
Ranting-ranting poin di atas adalah Kesiapan Menikah, yang nantinya akan melabeli mempelai dengan sakinah, mawadah, dan rahmah. In syaa Allah. Juga mewujud sebuah sampan yang siap untuk didayung bersama.

Selanjutnya, bagaimana ukuran seseorang dikatakan telah siap menikah? atau telah cukup mencapai batas standar dari poin-poin di atas? Jawabannya bisa saja relatif, sebab hakikinya persiapan di atas juga merupakan proses perbaikan diri yang harus dilakukan sepanjang waktu, lalu kapan kita menikah?

Di sinilah kemudian ada Parameter Kesiapan Menikah; atau Kesanggupan Menikah. Seseorang dikatakan sanggup menikah jika telah memenuhi satu parameter, yakni: Ba’ah. Apa itu ba’ah? Sebagian ‘ulama menyepakati bahwa ba’ah itu adalah kemampuan biologis; kemampuan jima’.

Dikatakan sanggup menikah bila sudah mampu ber-ba’ah. Dan siap, bila lima poin di atas dilaksanakan dalam jangka waktu yang tak terbatas. Ini mengacu pada hukum nikah sendiri yang berjalan beriringan dengan bagaimana diri kita, bukan calon kita. Nikah bisa saja sunnah, wajib, bahkan haram.

Seberapa pun persiapan, sesedikit apapun bekal, jikalau sudah sanggup maka kita dituntut untuk menikah.

“Kenapa harus capek-capek memenuhi lima poin kesiapan menikah jika ba’ah saja sudah menuntut kita melakukannya?” Tidak salah. Sebenarnya lima poin di atas didasari satu kata yang menentukan siap tidaknya kita menikah. Tau apa? Jawabannya: Komitmen.

Sesiap apapun, se-terpenuhi bagaimana pun lima poin di atas, jika tidak ada komitmen untuk terus menggerakkan gerigi untuk lebih baik, lebih baik, lebih baik lagi setiap harinya maka kesempurnaan itu akan prematur.

Ayat ini, “Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (menikah) dari hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. JIKA MEREKA MISKIN ALLAH AKAN MENGAYAKAN MEREKA DENGAN KARUNIANYA. Dan Allah Maha Luas (pemberianNya) dan Maha Mengetahui. (Qs. An Nuur 32)” tidak bermaksud menurunkan durian dari langit. Tidak. Kalau tidak ada komitmen untuk berusaha ya tetap aja tidak berpunya.

Hematnya … kita dituntut menikah ketika sudah sanggup (ba’ah) dan punya komitmen (mengurus pernah-pernik rumah tangga). Bukan karena sering dikompori orang lain lantas tring tetiba saja ingin menikah karena terbayang manis-masinya saja. Dasar, remaja-remaja ngebet nikah! eh, saya juga pernah, ding.

Maka ayo mengaji

Sumber : Jejak Pendosa

Previous
Next Post »