Ketika Aku Menyukai

Oleh : Mulkan Fauzi
“PING!”
“PING!”
“PING!”
Gadgetku terus saja berisik. Tiap hari ku tatap, pegang, bahkan dielus-elus ternyata tak membuatnya mengerti kalau pemiliknya sedang sibuk. hvft.
“Assalaamu’alaykum.” ku balas dengan perkataan paling jelita yang dimiliki setiap muslim.
“Eh, wa’alaykumussalaam. ‘Afwan, kang, ganggu. Lagi sibuk ta?” jawab kawanku ini, seperti punya hajat yang serius terhadapku.
“Enggak terlalu, kok, kang. Ada apa?” Ya … karena aku tahu ada itsar; mendahulukan saudaranya dalam konsep persaudaraan, maka urusan pribadiku sengaja disampingkan dahulu.
“Aduh, kang, ane baper nih …” responnya cepat, seperti bapernya sudah masuk stadium akhir. Hmm…
“Hah? Maksudnya?” aku memang tak mengerti apa yang ia katakan, “Baper? Baper sama apa?”
“Perempuan, kang.” ia jawab datar, keliatan sedang menekan perasaan, kayaknya sih.
Sedikit cerita, kami berdua; aku dan kawanku ini tergabung dalam organisasi yang sama. Di mana sekretariatnya saja terbagi dua. Maksudku … antara laki-laki dan perempuan itu tempatnya dihalangi; gak boleh ada interaksi berlebihan apalagi untuk hal-hal tidak penting, bukan berarti tidak boleh interaksi sama sekali ya. Secara rahasia -mungkin bahasa intelnya seperti itu- kami diawasi, agar tak terjadi hal-hal yang diluar batas kewajaran dan menabrak rambu-rambu yang diberikan agama khusus pada bab interaksi lawan jenis. Kalau ketahuan, biasanya kami ditegur. Bahkan katanya ada yang pernah dapat ‘kartu kuning’. Ribet ya kayaknya? Enggak, lho padahal. Gini ya, Islam itu memerintahkan untuk menjaga pandangan, gak hanya laki-laki, tapi perempuan juga. Alasan syar’inya agar gak terjerumus pada zina; baik itu zina mata, telinga, tangan, kaki, bahkan hati. Alasan lainnya adalah … supaya kita ‘gemetaran’ kalau ketemu lawan jenis. Benefitnya kalau nanti berumah tangga, ada malu-malu sedap gitu. Apa sih wkwk. Udah ah, lanjut ~
“Yasallaam, emang gimana? Kamu suka?”
“Iya, kang, aduh gimana iniiiiiiiii …”
“ha ha ha, gini ya, kang. Lazim bagi seorang lelaki menyukai perempuan di usia seperti kita sekarang ini. Tapi, jika belum siap untuk melanjutkan ke langkah yang lebih suci, sebisa mungkin perasaan itu harus ditekan ke titik paling rendah. Itu sih pintar-pintar kita. Kalau aku, suka mengingat keburukan-keburukannya. Selain itu, aku suka menghindar lalu menyibukkan diri dengan hal-hal rumit, kecuali matematika. Aku juga suka berpikir begini, ‘dia menyukai orang lain, dia menyukai orang lain, dia menyukai orang lain, dia menyukai orang lain’ sampai benar-benar percaya kalau dia memang menyukai orang lain.
Tapi memang sih, merubah perasaan gak sebercanda itu, intinya, kang … harus terus inget Allah. Banyak-banyakin proyek akhirat, sibuk-sibukin sama hal positif. Cinta bukan tirani yang menyiksa, ianya adalah anugerah selama kita benar memaknainya. Cinta juga bukan dosa, hanyasanya jangan dipermainkan kalau belum siap memenangkan. Jaga hati, kang.”
Seperti itulah caraku, meski kadang merasa bersalah karena tidak menyapa, bahkan menatap kawan perempuan yang baru sekali bertemu. Kalau kata Pak Adnan sih, “Bukanlah maksud, jangan kau tersenyum seperti itu padaku. Aku takut separuh hatimu tertinggal di sini … lalu menjadi rindu.” Gitu.
Salam sapa.
Bukan maksud tuk sombong *dadah-dadah*

Oh ya, satu lagi. Saya intel. 8-)
Previous
Next Post »