Kasus pembunuhan terhadap Ade Sara Angelina Suroto (19) yang
dilakukan oleh sepasang kekasih, yakni Ahmad Imam Al Hafid (19) dan
pacarnya Assyifa Ramadhani (19) seolah menampar wajah seluruh pemuda
Indonesia. Bagaimana tidak, remaja Indonesia seolah sudah kehabisa
prestasi dan kebanggaan. Tawuran, narkoba, pergaulan bebas, bullying dan sejuta permasalahan lainnya sudah menjadi nafas sehari-hari remaja kita.
Dan sayangnya, sebagai masyarakat dengan kultur pop yang kuat kita
selalu berhenti di wacana normatif, permintaan maaf penuh basa basi,
penegakan hukum asal-asalan, dan yang paling marak adalah mencurahkan
hujatan lewat berbagai media sosial atas kondisi yang ada. Jika kita mau untuk sekedar menoleh ke belakang, maka sungguh sangat
nyata bahwa keadaan sosial dimana kita beradalah yang melahirkan
pembunuh muda berdarah dinging itu.
Sembilan belas tahun adalah umur dimana masa depan tampak begitu
cerah, berbagai kesempatan terbuka lebar, berbagai jenis prestasi
menanti. Tapi lihatlah apa yang kemudian difikirkan pemuda dalam kisaran
umur Sembilan belas tahun.
Pasti urusan cinta, jika ada yang membantah, anda mungkin masih
terlalu muda atau terlalu tua sampai lupa. Entah berapa banyak waktu
yang dihabiskan pemuda Sembilan belas tahun kita untuk membahas hal yang
itu-itu saja, “aku cinta padamu, apakah kau mencintaiku juga?’
Kita bisa sepakat jika pada umur yang sedemikian, perkembangan
hormonal remaja seolah menggiring mereka untuk menjadi lebih ingin tahu
tentang lawan jenisnya. Tapi yang jadi permasalahan adalah bagaimana
sistem sosial kita yang ada saat ini menampung dan menempatkan remaja
dengan hormon meledak-ledak ini dalam masyarakat.
Cinta Remaja dan Hiperealitas
Sejak dahulu memang beginilah cinta, deritanya tiada pernah berakhir
Kata-kata di atas tidak hanya masyhur diucapkan oleh banyak orang di
Indonesia, tapi juga diimani sebagai pemaknaan yang akurat akan arti
cinta. Tidak percaya? Silakan anda sampaikan kata-kata bertulis miring
diatas kepada remaja-remaja yang patah hati. Ada jaminan bahwa hampir
100% pemuda yang disodori statement diatas akan berkata “Betul kata-kata
itu”.
Kata-kata dari tokoh rekaan yakni Panglima Tian Feng alias Ti Pat Kay
dari sinema berseri “Kera Sakti” telah terbukti berhasil menanamkan
konsep di kepala orang-orang Indonesia bahwa cinta identik dengan
penderitaan. Lalu apa jadinya hidup jika kita memaknai cinta sebagai
penderitaan?
Celakanya, bukan hanya Panglima Tian Feng yang telah menanamkan
konsep cinta dengan isi yang salah di kepala orang-orang Indonesia.
Sekarang anda bisa hitung, ada berapa sinetron, ftv, reality show,
video klip musik, dan novel yang mengusung tema cinta. Dan dari sekian
banyak kumpulan itu, silakan anda sortir berapa banyak konsep cinta yang
disampaikan dengan cara yang baik dan konsep yang benar. Dan jangan
bingung jika anda hanya menemukan hasil sortiran yang sedikit.
Era Postmodernisme dengan kekhasannya yang anti otoritas dan ambigu
telah melahirkan sebuah gegar budaya lewat Hiperealitas. Karena anti
otoritas (yang artinya anti akan kebakuan, keaslian, dan keutuhan
sesuatu) orang-orang diajak untuk tertarik pada hal-hal yang sifatnya
jauh dari kenyataan.
Ketika anda memasuki panggung diorama di Museum Nasional, rasanya
kita berada dalam peristiwa sejarah itu sendiri, panca indera kita
dimanipulasi sedemikian rupa sehingga emosi kita tergerak untuk meyakini
bahwa pengalaman kita berada dalam diorama tersebut adalah pengalaman
sejarah yang sangat asli, bahkan mungkin kita merasa bahwa perasaan kita
lebih autentik daripada kejadian sejarah yang sebenranya.
Contoh lain. Jika anda adalah penggemar film, seringkali anda kan
lebih tertarik versi 3D nya daripada versi standart. Alasannya
sederhana, film-film versi 3D terkesan lebih nyata, lebih real,
lebih hidup. Padahal jika kita renungkan pada dasarnya, film itu sendiri
sudah jauh dari kenyataan, lalu untuk apa menikmati sesuatu yang jauh
dari nyata dengan cara yang “lebih nyata” . Absurd.
Hiperealitas adalah suatu konsep yang menjelaskan fenomena dimana manusia gemar membuat sebuah copy
dari kejadian, sosok, peristiwa dalam ruang dan waktu dan kemudian
mengangapnya lebih nyata dari kenyataan yang sebenarnya. Sederhananya
ini adalah konsep yang menjelaskan kenapa banyak orang yang menganggap
patung Michel Jakcson terlihat lebih hidup daripada Michel Jackson yang
asli hidup. Lebih sederhananya lagi adalah fenomena dimana bayang-bayang
dianggap kenyataan.
Disinilah cinta remaja kita berada, di alam Hiperealitas. Bayangkan
apa jadinya jika remaja-remaja kita ditawarkan konsep tentang cinta
palsu yang dikemas sedemikian nyata lewat media, entah itu film, music
atau bahkan novel secara terus menerus.
Maka jangan heran jika pemuda kita banyak terjangkit peterpan syndrome dan pemudi kita menderita cinderella complex.
Dua gangguan kejiwaan ini sebenarnya berakar dari gagalnya para pemuda
untuk melihat kenyataan dengan cara pandang yang baik dan benar.
Dekatnya Pemuda Kita dengan Kedzaliman
Kita seringkali memahami dzalim sebagai perbuatan buruk yang merugikan orang lain. Padahal Dr. Hamid Fahmi Zarkasy, M.A, M.Phil dalam acara seminar pemikiran Islam kerjasama Institute for The Study of Islamic Thought and Civilization (INSIST) dan Program Kaderisasi Ulama Institute Studi Islam (PKU ISID) Gontor, menyatakan bahwa makna dzalim adalah menempatkan sesuatu bukan pada tempatnya. Sedangkan menempatkan sesuatu pada tempatnya disebut dengan ‘adl atau adil.
Remaja, dengan jumlahnya yang sedemikian besar merupakan pangsa pasar
yang menjanjikan bagi beraneka industry. Industry bukan lembaga moral,
maka jangan heran jika mereka hanya mengejar profit tanpa peduli ekses
negative yang muncul ditengah pasar utama mereka yakni remaja. Dan
industry paham bahwa persoalan cinta akan selalu hangat di kalangan para
remaja.
Kultur Pop yang berkembang di Indonesia memiliki ketergantunga kepada
media massa sebagai stabilizer isu, sementara media massa bergantung
pada Industry yang menyuplai mereka dengan dana melalui iklan, sedangkan
industry dibimbing oleh para pakar marketing agar produk mereka laris,
dan pakar marketing ini disekolahnya dulu dibentuk lewat sistem
pendidikan yang berasas pada ideology postmodernisme yang anti otoritas.
Lingkaran setan kedzaliman yang klop satu sama lainnya
Hati yang seharusnya menjadi tempat bagi kecintaan terhadap Allah sebagai pusat segala sesuatu telah dengan dzalim ditukar dengan cinta pada kefanaan. Sungguh besar kedzaliman yang pemuda kita lakukan. Tanpa bekal iman, ilmu dan amal yang dipersiapkan dengan baik, maka
jangan heran jika pemuda kita terjebak dalam pusaran kedzaliman. Entah
karena efek dari luar, berupa sugesti dan godaan, atau justru efek dari
dalam karena absennya iman, ilmu dan amal yang bekerja secara
berkesinambungan.
Tiada salahnya jika kita mengulangi peringatan dari Syekh Ahmad Al
Khatib kepada pemuda Indonesia agar mengingat dan memahami kematian
sebagai fondasi menanamkan iman dalam jiwa. Dan bagi para orangtua agar
makin menguatkan taqwanya kepada Allah subhanahu wata’ala atas titipan luar biasa bernama anak sebab kullu ro’in mas’uulun ‘an ro’iyyatihi, karena setiap penanggung jawab akan dimintai tanggung jawabnya atas apa yang dikuasakan terhadapnya.
Dan jika kita tetap lalai akan fenomena kedzaliman ini, sungguh Allah
SWT tiada perlu menurunkan ‘adzab dari langit, sebab secara pasti,
masyarakat yang memelihara kedzaliman adalah masyarakat yang berproses
menuju bunuh diri dan kerusakan massal.
Sumber : Islampos.com

EmoticonEmoticon